Minggu, 28 November 2010

Marhaenisme

Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.

Cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar mengambil  bagian yang besar sekali.
Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besargevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyaigevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem,ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie, sedang disini ia buat 75% bersifatonderneming (perkebunan, ed.) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau,onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwadus sepantasnya disana kaum Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu juga?
Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!

Sabtu, 27 November 2010

Sejarah GmnI

Organisasi pembentuk
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan tiga organisasi mahasiswa yang berasaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:
  • Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta
  • Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya
  • Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta.
Proses peleburan
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.

Deklarasi
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
  • Setuju untuk melakukan fusi
  • Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia" (GMNI).
  • Asas organisasi adalah: Marhaenisme ajaran Bung Karno.
  • Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.
Para deklarator
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
  • Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
1. Slamet Djajawidjaja
2. Slamet Rahardjo
3. Heruman
  • Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
1. Wahyu Widodo
2. Subagio Masrukin
3. Sri Sumantri martosuwiignyo
  • Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
1. S.M. Hadiprabowo
2. Djawadi Hadipradoko
3. Sulomo

Kongres I
Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk menetapkan personil pimpinan di tingkat pusat.

Kongres II
Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan Kongres II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.

Kongres III
Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan Kongres III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa!".

Kongres V
Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana Kongres V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.
Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai lam pikiran para aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke "Khittah" dan "Fitrah" nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.

Kongres VI
Setelah gejolak politik reda GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan Kongres VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: "Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Asas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.

Kongres VII
Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam Kongres VII GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Asas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.

Sabtu, 13 November 2010

SUMPAH MAHASISWA INDONESIA

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
Bertanah air yang satu
Tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
Berbangsa yang satu
Bangsa yang Takluk akan Keadilan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah
Berbahasa satu 
Bahasa tanpa Kebohongan


Hidup Mahasiswa...!!!
Hidup Pemuda Indonesia...
!!!Merdeka....!!!

Sejarah GmnI di Kalimantan Barat

Lahirnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia  (GMNI) di Kalimantan Barat tidak terlepas dari peranan besar Bapak Ya’ Syarif Umar (Alm) pada tahun 1960-an, yang gigih menciptakan serta melahirkan embrio-embrio kaum nasionalis yang potensial dan berjiwa revolusioner.   Dalam perkembangannya, GMNI saat itu boleh dikatakan sebagai organisasi yang relatif masih muda, namun dampak sosiopolitis yang diberikan cukup signifikan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai nasional kerakyatan dan berwawasan kebangsaan.

Perjalanan GMNI sebagai organisasi juga tak luput dari pengalaman-pengalaman yang membuat GMNI terpaksa harus mengalami masa-masa stagnasi kemandulan serta penyimpangan arah dari garis perjuangannya. Hal tersebut terjadi karena kebijakan penguasa saat itu yang sangat kapitalistik, otoriter, represif dan mematikan nilai-nilai demokrasi, sehingga sangat sulit bagi GMNI serta organisasi lain yang berpihak pada kepentingan rakyat untuk tumbuh, berjuang dan berkembang. Situasi politik yang tercipta akhirnya juga memberikan distorsi bagi masyarakat awam terhadap sejarah masa lalu GMNI yang mengakibatkan munculnya ketidakpahaman masyarakat awam terhadap visi dan misi yang di emban oleh GMNI sebagai salah satu organisasi yang terus konsisten berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dialektika kehidupan sosial politik yang mengalami perubahan begitu cepat di era transisi sekarang ini menuntut adanya penyesuaian-penyesuain paradigmatik di berbagai kalangan khususnya generasi muda Kalimantan Barat sebagai bagian integral terpenting dalam konstelasi politik bangsa kedepan. Derasnya arus demokeratisasi yang mewarnai perjalanan politik saat ini  telah merubah arah perpolitikan nasional yang cenderung kaku dan otoriter di masa Orde Baru menjadi lebih terbuka yang memungkinkan partisispasi politik erakyat secara langsung dalam dinamika politik untuk ikut menentukan arah masa depan bangsa.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan kondisi sosial politik tersebut, secara tidak langsung telah menuntut tanggung jawab dan peran aktif kita semua khususnya GMNI untuk lebih proaktif dalam menjalankan agenda-agenda perubahan kearah demokratisasi. Untuk itu, GMNI sebagai sebuah OKP yang memiliki posisi strategis dalam hubungan sosial kemasyarakatan selalu komit dengan garis perjuangannya dalam  menyiapkan kader idiologis untuk tetap setia mengawal pembangunan bangsa yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.
Refleksi kehadiran GMNI sebagai lambang dari suatu integritas kemajemukan yang bersifat progressif revolusioner dengan mengususng mi perubahan dan demokratisasi adalah semangat sentral yang selalu hadir dalam diri setiap kader GMNI.
Kokohnya pondasi GMNI merupakan suatu refleksi kehadirannya sebagai sebuah organisasi yang selalu konsisten berpihak kepada kepentingan rakyat. Dalam dinamika kehidupan berbangsa GMNI merupakan akumulasi nilai-nilai perjuangannya, sebagai pewaris sejarah masa lalu, pelaku sejarah masa kini dan penentu sejarah masa depan GMNI harus tetap hidup dalam idealisme kerakyatannya. Merupakan suatu kewajiban bagi kesinambungan organisasinya, maka regenerasi kader mutlak untuk di laksanakan sebagai antisipasi terhadap stagnasi organisasi kedepan. Di samping itu, perjalanan sejarah perjuangan GMNI merupakan nilai – nilai yang harus tetap di wariskan kepada generasi penerus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari peranannya saat ini dan masa depan.
Sebagai sebuah organisasi yang modern, penataan aspek manejerial dan struktural organisasi secara konstitusi dan demokratis merupakan legalitas terhadap eksistensi dirinya. Atas dasar  pemikiran di atas serta kewajiban konstitusi yang harus di jalankan, maka DPC GMNI Pontianak akan melaksanakan Konfrensi  Cabang  Ke-IV GMNI sebagai upaya menata kembali aspek manejerial organisasi  yang akan menentukan sejarah GMNI di masa depan.